Nikah (lagi)? Bentar.

Baru-baru ini aku dihadapkan dengan pertanyaan yang sebenernya udah wara-wiri bertahun yang lalu. Pertanyaan 'kapan nikah?' yang aku jawab dengan 'udah pernah' lalu berakhir dengan tawa riang gembira. Tapi sekarang, pertanyaan itu harus dijawab dengan benar. Pertanyaan itu bukan lagi pertanyaan ringan penuh candaan. Aku -si sarkas yang selalu becandain semua hal- diminta untuk berpikir serius, memutuskan sesuatu yang rasanya akan sulit sekali ada jawabannya. 

Bukannya aku nggak mau menikah lagi, kayanya sih aku masih mau hehe tapi, sebagai seseorang yang pernah berubah statusnya dari menikah lalu single, pandanganku tentang menikah juga berubah drastis. Menikah bukan lagi pembuktian komitmen tertinggi dalam suatu hubungan, karena menikah dan komitmen bisa kok berjalan tidak bersamaan. Orang bisa menikah dengan siapa saja, tapi komitmen, kesetiaan yang dia punya nggak selalu ada dalam pernikahan itu. Bukan berarti orang yang sekarang menikah jadi ga punya komitmen di mataku, but come on, be realistic. Berapa orang disekitar kita sendiri yang happily married? Yang benar-benar merasa bahagia bangun setiap pagi di sebelah pasangannya? Yang benar-benar menjaga sikap ketika sedang tidak bersama pasangannya? Ada, tapi sedikit banget. 

Aku menemukan kenyamanan yang berbeda ketika aku sendirian. Sepi tapi aku aman. Aku nggak perlu takut disakitin, atau ditinggalkan ketika sedang baik-baiknya. Aku nggak perlu berkompromi sama orang lain, atau memberikan kesempatan berkali-kali atas kesalahan orang lain. Aku bisa fokus dengan diriku, dengan anakku tanpa perlu membagi perhatianku dengan yang lain. Aku pernah bilang ke pasanganku sekarang, "Kamu nggak perlu takut aku cari laki-laki lain, karena yang perlu kamu takutkan adalah rasa nyamanku dalam kesendirian." Karena ketika seseorang sudah nyaman dengan kesendirian, mereka nggak akan takut kehilangan orang lain. Semua boleh hilang, semua boleh pergi, asal aku nggak kehilangan diriku sendiri (lagi).

Hal jelek yang timbul dari kenyamanan yang aku punya adalah aku nggak takut ngecut-off sesuatu hanya karena masalah sepele. Buatku, masalah sekecil apapun tetaplah masalah. Aku jadi males ngasih kesempatan banyak ke orang lain. Padahal yang aku tau, hubungan bisa bertahan lama ketika dua orang bisa saling memaafkan dan terus berubah jadi lebih baik. Sedangkan aku sudah sampai di titik, kalo aku perlu memaafkan orang lain karena kesalahan yang sama lebih dari sekali berarti ketidak-nyamanan ku tidak didengar, pendapatku tidak dihargai. Lalu, apa itu yang mau dilakukan untuk memulai sebuah hubungan?

Karena menikah itu bukan goals. Menikah justru awal mula dari semua masalah yang belum kelihatan ketika masih pacaran dulu atau masa perkenalan. Menikah bukan hanya menyatukan dua pribadi, tapi dua keluarga yang tentu punya kisahnya masing-masing. Dan saat ini, aku sedang tidak dalam kondisi yang baik, aku menyadari kalo tenagaku sedang tidak ada. Aku ga punya tenaga untuk memperjuangkan sesuatu yang aku tau nggak ada ujungnya, aku ga punya tenaga untuk meyakinkan seseorang bahwa aku pantas diperjuangkan. Jadi kalo orang itu mau berjuang buat aku silahkan, tapi kalo nggak, aku juga gapapa. 

Salah satu yang memberatkan aku untuk menikah lagi adalah anak. Bukannya aira nggak mau aku nikah lagi, aira salah satu orang yang paling merasa senang dengan kehadiran pasanganku (meski kadang suka nanya kenapa cuma temen mama yang ini yang sering ke rumah huahahaha) tapi justru karena ada aira yang harus aku dengarkan juga keinginannya, aku jadi nggak bisa sembarangan bilang kalo aku nggak mau menikah. Karena jika aku bercerai tanpa anak, menikah sudah bukan lagi prioritasku. Aira mulai mempertanyakan kenapa cuma ada kami berdua, kenapa yang datang ke rumah nggak boleh menetap, kenapa aku enggan melibatkan orang lain dalam kegiatan kami, kenapa aku selalu bilang lebih baik berdua daripada ramai tapi kacau. Aira mulai merasa kurang dengan aku saja. 

Aku perlu mereset ulang isi kepalaku. Aku perlu meyakini bahwa nggak semua hal buruk bakal terjadi, bahwa nggak semua cerita bisa terulang. Aku perlu berdamai dengan hal-hal kecil yang kadang aku besarkan. Aku perlu memahami bahwa tidak ada orang yang sama, tidak semua orang berniat nyakitin orang lain. Aku perlu bernafas, melihat hubunganku saat ini dari kacamata yang lebih jauh. Karena kalo yang ini gagal, aku nggak cuma kehilangan pasangan aja, aku juga kehilangan sahabatku, orang yang selalu ada buat aku, dan aku nggak mau kehilangan semua itu cuma karena mengejar status menikah. 

Jadi, selama aku mengusahakan semua 'perlu'ku, jangan dulu menyerah ya. Semoga kesabaran selalu menyertai kamu menghadapi semua keajaibanku. I'm so grateful that I have you. 

Komentar

Postingan Populer