What was I made for? (Spoiler alert: Barbie)


Minggu lalu, aku berkesempatan buat nonton film Barbie. Ekspektasiku adalah film ringan yang menyenangkan, kenyataannya adalah film yang ngebuat aku mikir peranku sebagai perempuan di hidup ini. 

Film Barbie dikemas dengan baik, mengajak para perempuan muda, baik yang sudah menikah ataupun belum untuk kembali lebih aware dengan peran kita sebagai perempuan. Film ini nggak ada adegan dewasanya namun rating film yang 13+ sepertinya tepat karena banyak sekali conversation dan scene yang menurutku sendiri akan agak susah dinikmati oleh anak-anak dibawah 13 tahun. Tulisan dibawah ini bisa aja mengandung spoiler ya. 

Dalam dunia Barbie yang sempurna, perempuan memiliki seluruh pekerjaan penting di dunia. Memberikan mereka identitas diri selain 'hanya' menjadi perempuan saja. Ada yang jadi presiden, peraih nobel, pekerja bangunan, dokter dan berbagai pekerjaan lainnya. Perempuan bukan pelengkap kehidupan pria, malah sebaliknya. Dalam dunia Barbie, Ken yang notabene adalah laki-laki memiliki kedudukan yang tidak signifikan. Barbie tidak bergantung pada Ken, justru sebaliknya. Ken memiliki keinginan untuk merasa dibutuhkan oleh Barbie, sementara Barbie tetap bergerak pada porosnya sendiri, tidak merasa keberadaan Ken adalah hal yang dia butuhkan. 

Ketika akhirnya Barbie pergi menuju dunia nyata, dalam pikirannya, dunia nyata tidak jauh beda dengan dunia Barbienya. Perempuan bebas menjadi apa saja, perempuan memiliki peran penting pada berbagai lapangan pekerjaan. Pemikiran yang segera dipatahkan dengan kenyataan bahwa peran perempuan di dunia nyata tidak seperti di dunia Barbie. 

Di dunia nyata, pandangan laki-laki seakan meremehkan, sehingga Barbie merasa dilecehkan meski tanpa kata-kata. Beberapa adegan yang membuat kita merinding sebagai perempuan. Bagaimana perempuan di mata laki-laki seakan-akan hanya seperti properti yang harus terlihat apik. Bagaimana pelecehan itu tidak mengenal pakaian, tidak mengenal sikap. Kehadiran Barbie di dunia nyata membuatnya menyadari bahwa perempuan tidak bisa jadi apa saja. Ada keterbatasan peran yang tidak bisa digantikan siapa-siapa. Ada keterbatasan ruang gerak bagi perempuan untuk bisa menjadi apapun. Ruang gerak yang diciptakan oleh pemahaman masyarakat umum. 

Satu monolog yang nggak bisa lepas dari pikiranku. Dibacakan oleh America Ferrera dalam perannya sebagai Gloria, seorang ibu pekerja yang bernostalgia dengan Barbie miliknya. Gloria berusaha membuat Barbie yang realistis, Barbie yang dekat dengan peran perempuan di kehidupan sehari-hari, Barbie yang bisa bebas tidak menjadi apa-apa. 

Dalam monolognya, Gloria mengungkapkan betapa susahnya jadi perempuan. Perempuan harus berambisi namun tidak boleh menjegal orang lain, perempuan harus bekerja namun tidak boleh lupa perannya sebagai seorang ibu dan istri, perempuan harus tampil cantik namun tidak terlalu cantik karena bisa membuat orang lain iri dan pasangan kita merasa tidak nyaman, perempuan tidak boleh mengeluhkan sikap laki-laki yang membuatnya risih, perempuan harus menerima sekecil apapun effort yang diberikan oleh laki-laki, perempuan harus bersyukur dengan pasangannya. Semua peran perempuan yang mengutamakan orang lain namun tidak dengan dirinya sendiri.

Ketika mendengar monolog itu, aku merasa seperti sedang berkaca. Aku merasa mengingat kembali berbagai kata-kata yang pernah terdengar di telingaku, bagaimana peranku sebagai seorang ibu direndahkan hanya karena aku meminta hak anakku, bagaimana peranku sebagai seorang istri dipertanyakan hanya karena aku tidak berhasil mempertahankan rumah tanggaku yang dahulu, bagaimana peranku sebagai anak ketika memilih untuk tutup telinga akan permasalahan orangtuaku, bagaimana peranku sebagai saudara ketika tidak berhasil menjaga mereka, bagaimana peranku sebagai seorang perempuan ketika aku merasa tidak cukup hanya dengan menjadi perempuan. 

Sebagai perempuan. berbagai peran harus dipikul sendiri, tanpa apresiasi yang cukup. 'Hanya' menjadi ibu, tapi harus bisa masak, harus bisa merawat anak, harus bisa memberi pendidikan yang baik untuk anak, harus bisa mengurus rumah, harus bisa merawat diri untuk suami, harus bisa memberi waktu dan tenaga untuk orangtua, harus bisa jadi supir pribadi, harus pintar mengatur keuangan dan harus-harus lainnya yang pastinya berbeda untuk satu atau dua orang lainnya. 'Hanya' menjadi ibu yang tidak boleh mengeluh, tidak boleh bilang capek, tidak boleh marah, tidak boleh nangis, tidak boleh meninggalkan anak dengan suami, tidak boleh sering beli makan diluar, tidak boleh belanja barang-barang pribadi dan tidak boleh lainnya yang tidak akan ada habisnya. 

Perempuan yang sebenarnya menjadi poros dalam kehidupan keluarga, seringkali perannya dikecilkan. Perempuan yang memilih bekerja diluar akan mendapat pertanyaan 'kok tega ninggalin anak?' namun perempuan yang tidak bekerja akan mendapat pernyataan 'enaknya habisin uang suami'. Perempuan yang menyekolahkan anaknya mulai paud akan mendapat pertanyaan 'emangnya anaknya ga cape sekolah?' namun perempuan yang memilih mengajarkan di rumah akan mendapat pernyataan 'iya enak sih anakmu cuma satu jadi ga repot'. Akan selalu ada pertanyaan dan pernyataan yang nyatanya tidak perlu disampaikan. Tidak semua pendapat harus diutarakan dan tidak semuanya harus didengar orang lain. 

Menjadi perempuan harus tangguh namun tidak boleh kasar. Menjadi perempuan harus lemah lembut namun tidak boleh manja. Menjadi perempuan harus mandiri namun harus tetap butuh laki-laki. Menjadi perempuan harus fleksibel namun tidak boleh semaunya sendiri. Menjadi perempuan harus mengikuti kodratnya namun harus bisa menjadi peran lain ketika dibutuhkan. Menjadi perempuan harus bisa menjadi apa saja, tanpa peduli apa kita ingin menjadi apa saja. Jadi, sebenarnya menjadi perempuan itu apa? 

Komentar

Postingan Populer