Cara saya memberi kesempatan pada diri untuk bahagia.


Beberapa hari belakangan ini, emosi saya kaya lagi dikuras nggak karuan. Saya berhadapan dengan orang-orang yang tidak punya hati, tidak merasa bersalah dan terus-terusan mencari pembenaran atas tindakan mereka. Lalu saya sadar, saya punya pilihan untuk tidak berurusan dengan mereka, untuk meninggalkan apapun yang terjadi sama mereka di masalalu. Mereka memang mengusik hidup saya tapi saya punya pilihan untuk cuek, dan tidak memikirkan lagi. 

Setelah drama yang sepertinya tidak akan pernah selesai, saya sadar kalo meredanya semua ini cuma saya yang bisa kendalikan. Saya memang nggak bisa mengendalikan perilaku mereka, keinginan mereka untuk terus menganggu hidup saya tapi saya bisa mengendalikan pikiran saya untuk fokus sama hal baik yang saya punya, saya bisa mengalihkan energi saya untuk hal positif yang terjadi di hidup saya. 

Orang bisa terus-terusan berpikiran buruk tentang saya, itu hak mereka. Tapi ketika saya berpikiran buruk tentang saya, hal itu tentu saja jadi bumerang untuk hidup saya. Saya tidak perlu membuktikan ke siapapun tentang diri saya sendiri, bukan tugas saya untuk meyakinkan orang lain bahwa saya orang baik. Tugas saya adalah menerima dan menyayangi diri saya sendiri, agar mereka yang berkata buruk tentang saya tidak sampai masuk ke hati. 

Dulu sekali, ketika saya belum belajar caranya mencintai diri sendiri, pertengkaran dengan orang lain akan sangat terasa di setiap hari yang saya lalui. Ketika ada seseorang yang tidak menyukai saya, saya akan menghabiskan waktu untuk mencari tahu apa yang salah dengan saya. Ketika sebegitu kecilnya saya menilai diri sendiri, saya akan terus-terusan mencari validasi dari orang lain. Saya jadi bertumpu pada orang lain jika bicara soal bahagia. Kehilangan cinta membuat saya seperti patah sebelah. 

Perlahan tapi pasti, saya belajar menerima segala kurang dan lebihnya yang saya punya. Belajar menghargai pengorbanan yang sudah saya lakukan, belajar untuk memeluk diri sendiri penuh cinta agar tidak perlu mengantungkan kebahagiaan dengan sesuatu atau seseorang. Saya belajar mengasihi diri saya seperti saya mengasihi orang lain, belajar memprioritaskan apa yang baik untuk hati dan memori saya. 

Ketika saya sudah sampai di titik membenci seseorang menjadi tidak menyenangkan, menyimpan amarah terlalu lama membuat saya jadi gampang lelah. Badan rasanya sakit semua ketika saya memendam amarah pada sesuatu atau seseorang. Menjadi jahat bukan lagi pilihan saya ketika dihadapkan pada orang-orang yang telah menyakiti hati saya. 

Lalu saya tersadar, mungkin memang saya tidak lagi menikmati saling mencaci seperti dulu. Pertengkaran yang tidak berhenti hanya karena tidak ada yang mau mengalah, saling menyalahkan sampai yang tersisa hanya kebencian semata. Bagi saya, membenci seseorang yang jahat tidak lagi melegakan hati. 

Maka dari itu saya putuskan untuk maju ke depan. Mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan yang lebih rumit namun pantas untuk diperjuangkan. Sebelum saya memaafkan orang lain, saya menghabiskan waktu untuk memaafkan diri sendiri. Atas pikiran kecil yang tumbuh di kepala karena kekurangan saya, atas perlakuan tidak penuh cinta yang sering saya beri pada diri, atas ketidak-percayaan diri bahwa jahatnya seseorang tidak akan merubah jati diri saya. 

Saya tau, akan selalu ada pribadi yang menyerang saya, akan selalu ada orang yang membenci saya setengah mati, mungkin mengutuk pilihan hidup saya. Tapi saya juga punya pilihan, untuk berhenti mendendam, untuk berhenti menyalahkan seseorang, untuk memilih menjadi bahagia. 

Tidak ada yang bertanggung jawab atas bahagiamu kecuali dirimu sendiri, sama seperti tidak ada yang bertanggung jawab atas kebencian mereka kecuali diri mereka sendiri. 

Komentar

  1. Mendengarkan omongan jelek orang lain terhadap kita, dan memprioritaskan ego setiap kali berselesih dengan orang lain memang bikin gak sehat, mba. Saya pun pernah hidup diliputi dendam, sedih marah, stress jadi satu karena beberapa hal, turns out hidup kerasanya makin suram aja. Saya jadi kurang mengenal diri sendiri, dan bahkan seperti menyiksa diri karena memaksa dia untuk patuh sama ego dan hal-hal negatif. Tapi seiring berjalannya waktu saya belajar untuk lebih mencintai diri sendiri, lebih tenang dan lebih dewasa. Bahwa gak semua hal harus kita ladeni, dan benar kata mba, kita gak butuh validasi orang lain, bahkan untuk membuktikan eksistensi kita sekalipun. Anyway, salam kenal ya mba!😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga mbak! Memang kalo lagi ditempa masalah, kita kadang suka nggak bisa lihat hikmahnya. Tapi setelah dijalani, baru berasa "Oh ternyata dengan masalah ini aku jadi lebih paham sama diriku sendiri" dan itu udah poin yang paling penting. Sehat selalu dan bahagia selalu ya mbak.

      Hapus
    2. Terima kasih mba! Sehat-sehat dan bahagia selalu untuk mba juga😊

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer