Konsep "membahagiakan orangtua"


Sebagai anak, tujuan hidup kita seringkali disangkut-pautkan dengan kebahagian orangtua. Nggak sedikit orangtua yang memposisikan anak jadi serba salah demi mendapatkan 'kebahagiaan' yang mereka pupuk di dalam diri anak itu sendiri. Tapi, apa sejatinya membahagiakan orangtua adalah satu-satunya tujuan anak dilahirkan?

Ketika aku punya anak, aku terus memupuk ke diri sendiri bahwa anakku berhak atas hidupnya, sepenuh hatinya. Anakku tidak berhutang kepada hidup yang aku berikan, pengorbananku untuk kelahirannyapun adalah pilihanku. Aku meyakini bahwa keharusannya membahagiakanku adalah sebuah konsep yang tidak harus dia wujudkan. Bahkan pasanganku tidak bertanggung jawab atas rasa bahagia yang aku punya. 

Anak bukanlah versi mini dari diri kita. Mereka punya pemikiran sendiri, punya pendapat sendiri, punya keputusan hidup sendiri. Pola asuh yang kita terapkan bukanlah untuk membentuk pribadi yang sesuai dengan ekspektasi kita, melainkan memberikan pilihan terbuka untuk mereka berkembang sesuai kehendak mereka namun masih terarah. Anak butuh arahan yang terbuka, bukan perintah yang tertutup. 

Lalu apa yang terjadi ketika anak melakukan hal yang tidak disarankan orangtuanya? Apa otomatis anak menjadi anak durhaka? Tidak, anak durhaka adalah anak yang tidak menghormati orangtuanya. Perbedaan pendapat atau keputusan hidup bukanlah tolak ukur tentang kedurhakaan anak. Tidak sedikit anak yang memilih jalan berbeda dengan ekspektasi orangtua namun mereka tetap hormat, tetap menghargai. Maka dimana letak durhakanya? Letak durhakanya ada pada pola pikir orangtua yang terus menerus merasa anak berhutang pada mereka. Padahal keputusan memiliki anak adalah pilihan orangtua. 

Ada banyak hal yang baru aku pelajari ketika aku memiliki anak. Salah satunya adalah tentang konsep kebahagiaan. Konsep yang kurang populer adalah bagaimana rasa bahagia seseorang tercermin dari cara ia memperlakukan orang lain. Orang yang bahagia tidak akan menggantungkan rasa bahagianya kepada orang lain, mereka akan fokus mencukupi tangki cinta mereka sehingga satu-satunya hal yang mereka bagikan kepada orang lain adalah rasa bahagia lainnya. 

Karena itulah, keputusan untuk memiliki anak bukanlah sekedar pertimbangan hamil dan melahirkan. Tapi siapkah kita -sebagai orangtua- menerima dengan lapang hati dan keterbukaan pikiran jika ada pilihan hidup yang dipilih anak kita yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita? Apakah kita masih bisa merangkul mereka dengan cinta? Apakah dukungan itu masih akan ada terus menerus? 

Anak bukanlah investasi. Anak bukanlah sesuatu yang bisa kita bentuk sedemikian rupa agar sesuai dengan ekspektasi kita. Anak adalah pribadi mandiri, dengan keputusannya sendiri, yang berharap orangtuanya akan senantiasa jadi rumah yang aman untuk dia membuka diri. 

Komentar

  1. Setuju kak. Tulisannya semakin meneguhkan aku dan mematangkan pikiran aku sebelum memutuskan untuk menikah dan punya anak. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih feedbacknya kak. Semoga bahagia selalu ya

      Hapus
  2. Sepakat sekali dengan cara pandang mbak, cara pandang yg kini sudah jarang. Memang tidak banyak orang tua yg berkonsep seperti itu : menyadari anak tidak serta merta harus bertanggungjawab penuh utk nilai kebahagiaan orang tua. Padahal kan justru sebaliknya, orangtua lah yg bertanggungjawab atas hidup anaknya, bukan sebaliknya. Karena saya sudah dari lama punya cara pandang seperti mbak ini, insyaallah akan saya tanamkan jika sudah menikah dan dan punya anak nanti.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul kak. Konsep ini sangat penting dimiliki oleh orangtua agar tidak jadi toxic untuk anaknya. Terima kasih feedbacknya ya, semoga bahagia selalu.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer