Mendidik anak atau memperbaiki orang dewasa?


Menjadi orangtua menyadarkanku bahwa seorang anak bertumbuh dari pembelajaran yang dia dapat dari orangtuanya. Pola asuh orangtua menjadi salah satu elemen terbesar dari terbentuknya sifat dan karakteristik anak itu sendiri. Ruang bertumbuhnya di dalam rumah akan menjadi penentu bagaimana dia bersikap di luar sana. Maka, tidak salah jika mendidik anak adalah sebuah pekerjaan seumur hidup yang harus disepakati kedua orangtuanya. 

Sejatinya tidak ada pola asuh yang paling benar ataupun paling salah; karena dapur keluarga setiap orang tentu berbeda-beda. Tapi, ada beberapa hal yang bisa jadi kesepakatan masyarakat umum dalam mendidik anak. Beberapa hal yang aku pelajari ketika aku menjadi orangtua terangkum di bawah ini.


Anak bisa salah dan boleh disalahkan.

Pernah mendengar reaksi dari kakek-nenek ketika anak kita jatuh dan mereka malah menyalahkan lantainya, yang jelas-jelas lantai itu tidak bergerak? Tidak bermaksud menyalahkan pola asuh orangtua kita jaman dulu tapi hal ini adalah hal yang wajar ketika kita masih kecil. Ketika kita jatuh, lantai yang salah. Ketika kita menabrak pintu, pintu yang salah. Sekarang, waktunya kita memutus rantai itu. Bukan jadinya sembarang menyalahkan anak tapi menurutku orangtua harus bisa melihat keadaan atau situasi dari sisi yang luas. Setiap kejadian selalu ada dua sisi cerita. Daripada keburu menyalahkan sesuatu (benda mati) yang jelas-jelas tidak bisa bergerak, belajar untuk menanyakan yang sebenarnya pada anak dan sabar ketika anak terbata-bata menjelaskannya. 

Anak bisa bersikap manipulatif tanpa mereka sadari. 

Based on my experience, di usia sekecil ini (hampir 5 tahun) Aira sudah sadar, siapa orang yang bisa luluh dengan tangisannya dan siapa yang bisa bersikap tegas. Sudah tentu aku jadi orangtua yang tegas, karena ya memang aku setakut itu anakku tumbuh jadi anak yang tidak punya aturan. Sedangkan sosok papanya jadi sosok malaikat yang hampir selalu berdiri di belakang Aira. "Kalo gitu jadinya nggak sepaham dong papa dan mamanya?" Berbeda kedudukan di mata anak bukan berarti jadi tidak sepaham. Jika kedua orangtuanya tegas, nanti mau menangis ngadu ke siapa dong? hehe Aku pribadi ngerasa dengan pemahaman Aira soal kedudukan orangtuanya ini ngebuat dia jadi sangat aware ketika papanya sampai marah, berarti sikap Aira kelewatan. Sikap manipulatif disini berarti anak sadar bahwa dengan sikap tertentu akan ada orangtua yang luluh. Nah, sisanya tinggal siapa yang lebih pintar; sikap manipulatif anak atau kerjasama orangtua. 

Tidak ada pemakluman "namanya juga anak-anak"

Garis besar mendidik anak buatku adalah batasan jelas tentang benar dan salah. Tidak ada abu-abu dalam beberapa hal seperti tidak sembarang ambil mainan orang lain, berkata kasar pada orang lain atau suka kepo urusan orang lain.  Sering kali sikap negatif anak mendapat pembelaan atau pemakluman "namanya juga anak-anak" padahal ini adalah momen yang tepat untuk menerapkan batasan tegas atas apa yang benar dan salah di mata anak-anak. Ajari anak untuk menghargai personal space orang lain, jangan lupa untuk juga menghargai personal space mereka. Ajari anak untuk memahami ini barang kepunyaan siapa agar tidak sembarang ambil atau menggunakan tanpa izin. Bahkan untuk adik dan kakak, buatku batasan sopan santun itu harus jelas. Keduanya harus saling menghargai, tanpa perlu siapa yang lebih didahulukan. 

Anak jauh lebih pintar daripada yang kita kira. 

Ketika hubunganku dengan papanya memburuk, aku nggak perlu berkata jelek ke Aira tentang keadaan kami; dia bisa menilai sendiri dan menunjukkan penolakan ke papanya. Lalu ketika hubungan kami berangsur membaik, hubungan Aira dan papanya pun turut membaik. Anak tidak perlu didikte terlalu dalam tentang sesuatu hal; mereka punya cara mereka sendiri untuk memandang dunia. Mereka dibekali dengan insting yang kuat, lebih peka daripada orang dewasa. Tanpa perlu dipaksa, mereka akan terbuka pada orang yang mereka rasa aman. Tugas kita sebagai orangtua adalah menjadi rasa aman dan nyaman itu, agar kelak ketika dunia semakin keras, mereka punya tempat bernaung yang teduh. 

Anak belajar dari melihat.

Anak yang terbiasa melihat orangtuanya berbicara nada tinggi kemungkinan tidak akan bisa berbicara dengan nada lembut. Anak yang terbiasa melihat orangtuanya saling menghormati kemungkinan akan menjadi anak yang santun. Semua itu memang tidak ada ilmu pastinya. Tapi rumah dan keluarga adalah tempat permulaan bagi karakter mereka berkembang. Mungkin kita sering merasa anak kurang mendengar apa yang kita minta, tapi percayalah, mereka akan melakukan sesuatu persis seperti apa yang kita contohkan sehari-hari. Seringkali aku dibikin takjub dengan apa yang Aira lakukan; bukan karena apa yang aku ajarkan tapi karena Aira belajar lebih banyak dengan melihat banyak hal. 


Setiap hari aku belajar, bagaimana anak yang baru melihat dunia kurang dari 5 tahun bisa melihat dunia dengan kacamatanya sendiri. Mendidik anak sejatinya tidak ada tolak ukur keberhasilan; yang ada hanya harapan, semoga kita sebagai orangtua tidak salah memberi pupuk. Perjalananku masih jauh, hubunganku dengan Aira masih akan menghadapi banyak gejolak. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk melindungi anakku dari kerasnya dunia, yang bisa aku lakukan hanya mempersiapkannya sebaik mungkin. Karena hati yang baik kelak akan jadi penawar saat dunia tidak berhenti berulah. 

Komentar

Postingan Populer