Five stages of grief versi saya.


*Tulisan ini di inspirasi oleh buku "Five Stages of  grief"

Ketika mendapati mantan suami saya berkhianat, pikiran saya buntu. Saya nggak bisa menemukan alasannya. Karena saya paham bagaimana saya sebagai istri. Kami tinggal serumah, sekota, saya habiskan waktu saya 24 jam untuk mengurusnya dan anak saya. Hidup saya sudah saya dedikasikan seutuhnya kepada dia dari awal pernikahan, bahkan hingga hubungan kami berakhir. Sejujurnya, saya masih nggak paham kenapa dia bisa bilang dia tidak bahagia sedangkan yang dia tunjukkan kepada saya berbeda, atau saya yang terlalu buta? 

Yang pertama terjadi di pikiran saya adalah denial, atau menolak bahwa mantan suami saya selingkuh. Saya masih berpendirian bahwa dia hanya khilaf, tapi khilaf kok berkali-kali dan lama? Hari-hari pertama setelah tau itu, saya sempat bertengkar dengan orang tua. Karena saya masih denial, saya masih mencari-cari alasan untuk mantan suami saya. Kebaikannya saya ulang-ulang ke orang tua saya, agar mereka percaya kalo suami saya masih orang baik. Saya masih memperjuangkannya, masih benar-benar berharap dia akan kembali sama saya. Tapi saya salah, dia memilih pergi, angkat kaki dan tidak peduli lagi pada kami. Fase Denial ini saya alami tidak terlalu lama. Hanya 2 minggu setelah dia angkat kaki dari rumah. Kenapa? Karena saya sudah terlalu marah. 

Lalu saya merasakan Anger atau amarah. Seolah pengorbanan saya seakan tidak ada artinya. Bertahun-tahun saya mengabdi pada pernikahan kami, mempertaruhkan nyawa melahirkan anaknya, tapi semua itu tidak ada artinya lagi. Setelah dia menolak kembali, saya bereskan seluruh barangnya, saya izinkan dia pergi, entah kemana. Saya bebaskan dia, tidak ada syarat, tidak ada pertanyaan akan kembali atau tidak. Lalu saya mulai menulis untuk melampiaskan kemarahan saya, berdiskusi dengan orang-orang terdekat. Kadang berdebat dengan pikiran saya sendiri. Amarah saya masih memuncak, masih jelas di ingatan saya bagaimana ia menolak saya dan anaknya. Beberapa kali kemarahan saya lampiaskan langsung kepadanya, tapi memang rasanya sudah mati, tidak ada tanggapan apalagi permintaan maaf. Saya merasakan amarah ini cukup lama. Saya sempat terjebak di dalamnya. Amarah yang diikuti keinginan untuk mengutuknya hingga mati. Ya, kemarahan saya menggerogoti saya dari dalam. Tidak ada yang menyenangkan dari fase Anger. 

Setelahnya saya mulai bargaining, atau berandai-andai. Seandainya dulu saya tidak terlalu percaya padanya, seandainya dulu saya tidak sering menjenguk orang tua, seandainya dulu saya tidak pernah menikah dengannya. Banyak seandainya yang bermunculan di kepala saya. Banyak skenario kemungkinan yang saya ciptakan, karena saya sudah tidak percaya pada dunia nyata. Skenario ini berkeliaran tanpa bisa saya tahan di kepala saya. Berulang kali saya coba untuk menerima kenyataan tapi ternyata saya belum sekuat yang saya yakini. 

Salah satu fase yang paling saya takuti adalah depression karena saya nggak tau apa yang akan hadapi. tapi pada akhirnya, saya tidak merasa depresi. Anak adalah satu-satunya alasan saya berusaha mencegah diri saya terjebak dalam depresi. Segala hal saya lakukan agar perasaan itu tidak pernah hinggap dan saya berhasil. Bagaimana caranya? Ibadah. Saya muslimah , maka saya sholat dan saya berdoa. Saya berdamai dengan Allah , berhenti bertanya kenapa ini terjadi kepada saya. 

Akhirnya saya merasakan acceptance yang artinya menerima. Saya menerima bahwa kenyataan kami memang tidak jodoh, kami adalah hasil dari jodoh yang dipaksakan. Saya menerima bahwa dia tidak mengkhianati saya, dia mengkhianati dirinya sendiri. Saya menerima bahwa ini bukan tentang siapa yang salah, ini tentang siapa yang akhirnya menerima. Saya sadar, bahwa saya pun bukanlah wanita sempurna tanpa cela, tapi saya masih punya iman. Allah masih menyelamatkan saya dari keburukan dunia dan akhirat. Itu yang paling saya syukuri. 

Di fase ini, saya sudah bisa mengesampingkan apapun yang terjadi akan hubungan dia dan pasangan barunya. Tapi saya tekankan bahwa anak saya hanya butuh saya dan dia sebagai orang tuanya. Memang terlihat palsu, tapi percayalah , saya baik-baik saja. 

Buat saya, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menyadari saya tidak kehilangan cinta. Saya hanya kehilangan orang yang tidak mencintai saya. 

Komentar

Postingan Populer