Mana yang lebih penting ; menyembuhkan diri atau co-parenting ?

Topik ini masih jadi salah satu topik hangat yang sering saya bahas dengan beberapa teman terpercaya. Entah kenapa , susah sekali buat saya memutuskan langkah mana yang lebih penting , atau lebih baik. Usia anak yang masih dibawah 5 tahun semakin membuat saya kebingungan karena Aira belum lancar berbicara , dan terkadang seperti tidak terlalu peduli dengan ada atau tidak ada Papanya. Tapi jika terus-terusan saya diamkan , saya malah takut di masa depan Papanya akan datang tiba-tiba dan malah membuat Aira sedih. 

Maka saya putuskan untuk tetap melakukan co-parenting sembari menyembuhkan diri. Ini mungkin tindakan kekanak-kanakan , tapi dengan memblokir semua akun sosial media mantan suami -hanya menyisakan kontak whatsapp- buat saya ini seperti angin segar. Karena yang saya butuhkan hanya komunikasi dengan mantan suami seputar anak. Saya tidak butuh tau kehidupan sosialnya apalagi kehidupan pribadinya. Pembicaraan di whatsapp pun sangat saya batasi. Hanya seputar Aira dan tidak ada kepentingan lainnya. 

Berat memang , memaksa diri untuk bersikap baik pada orang yang sudah mengecewakan kita , tapi tidak adil rasanya jika perpisahan kita jadi alasan anak kita tidak punya orang tua lengkap. Mungkin dari segi keluarga , saya dan mantan suami memang sudah tidak sejalan , tapi bukan berarti kami tidak bisa jadi orang tua buat Aira. 

Menyembuhkan diri versi saya tidak lepas dari ibadah menurut kepercayaan saya. Sholat 5 waktu , sholat sunnah , mengikuti kajian dan juga baca Al-quran. Klise memang , tapi itulah yang saya lakukan. Selain itu , berhenti bercerita kepada orang-orang yang membuat kita kembali merasa sedih / mengasihani diri sendiri. Ada beberapa orang yang bercerita kepada mereka hanya membuat kita merasa sedih. Malah mungkin membangkitkan rasa amarah yang sudah berhasil kita redam. Jadi hindari dulu , sampai rasa kita benar-benar biasa. 

Co-parenting sendiri buat saya adalah mengutamakan kebutuhan anak di atas ego orang tuanya. Peraturan sebenarnya lebih baik di buat di awal , apalagi jika mantan suami terkenal gemar berbohong. Jika perlu , siapkan materai dan tanda tangani bersama dengan konsekuensi yang sudah di sepakati. Peraturan seperti ini , menurut saya cocok untuk mereka yang mempunyai anak di usia sekolah. Karena akan banyak sekali hal-hal yang harus di tolerir bersama. Mulai dari kapan mereka diijinkan punya handphone , jam berapa jam malam mereka dan sebagainya. 

Saya sendiri masih menimbang-nimbang peraturan seperti apa yang perlu saya buat. Toh anak saya tidak pernah menginap di tempat Papanya , hanya sebatas bertemu di siang hari hingga malam. Perlukan membuat peraturan tentang pasangan baru? Dari sisi saya sebagai perempuan dan seorang ibu , ketika anak dikenalkan pada pasangan baru sang mantan , ini bukan lagi soal siapa yang jadi pasangannya. Tapi siapapun itu kelak akan disandingkan sebagai ibu tiri anak saya. Apa saya siap? Tentu tidak. Terlebih anak saya masih terlalu kecil untuk mengerti. Jadi saya membuat kesepakatan dengan mantan suami untuk tidak mengenalkan pasangan baru masing-masing. 

Satu yang perlu di ingat , co-parenting hanya melibatkan kedua orang tua dari anak. Jadi , libatkan mantan suami terhadap keputusan-keputusan yang akan kita ambil untuk anak kita. Pastika mantan suami masih good influence untuk mereka. Jika sudah tidak , lebih baik batasi diri kita untuk melibatkan mantan suami. Anakpun nantinya akan mengerti , mana hati yang paling baik jika menyangkut masa depan mereka.


Komentar

Postingan Populer